Jumat, 17 Agustus 2012

Sebuah Cerita Seorang Penulis

Motivasi Menulis: Mengapa Takut Mengirimkan Naskah ke Penerbit Mayor?

Alhamdulillah, kemarin saya mendapatkan kabar baik lagi dari sebuah penerbit mayor. Salah satu naskah antologi yang saya susun, yang pernah ditolak oleh sebuah penerbit mayor, sebut saja penerbit A, akhirnya diterima oleh penerbit mayor yang lain, sebut saja penerbit B. Tak sampai sebulan setelah penolakan penerbit A, naskah itu diterima di penerbit B.

Ketika mendapatkan penolakan dari penerbit A, mulanya saya terdiam lama. Tak menyangka akan ditolak, karena beberapa buku saya sudah diterbitkan oleh penerbit A. Hubungan dengan editornya juga baik. Saya mengira naskah itu akan lolos sebagaimana naskah-naskah lainnya. Ternyata tidak. Tidak dijelaskan mengapa naskah itu ditolak, ada banyak kemungkinan.

Naskah saya endapkan sehari, sambil mencari-cari penerbit mana yang kira-kira mau menerima naskah itu. Selama ini, saya sudah banyak mengumpulkan daftar-daftar penerbit yang menerima naskah berbagai genre. Saya buka-buka lagi daftar itu. Beberapa penerbit pernah saya jajaki, beberapa yang lain belum pernah. Akhirnya, saya memutuskan pilihan pada penerbit B, karena ada seorang teman penulis yang naskahnya lolos di penerbit itu. Saya tidak optimis bahwa naskah akan diterima, karena naskah saya dengan naskah teman saya itu berbeda genre. Saya pikir, wajarlah kalau naskah teman saya itu diterima, karena peluang pasarnya cukup besar. Sebuah naskah picbook untuk anak-anak. Sedangkan naskah saya itu berbentuk antologi. Apalagi saya belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit itu.



Dua naskah saya yang ditolak oleh penerbit A, keduanya berbentuk antologi. Jadi, saya pikir, penerbit sudah tidak mau menerima naskah antologi mengingat sudah banyak naskah serupa di pasaran. Akan tetapi, bismillah, saya mantapkan niat untuk memasukkan naskah antologi itu ke penerbit B. Dan…. Subhanallah…. Tidak sampai seminggu, saya sudah mendapatkan jawaban dari penerbit B bahwa naskah diterima.
Saya salut dengan teman-teman penulis, terutama penulis pemula, yang menggunakan jasa indie/ self publishing. Saya juga pernah mencobanya. Tetapi, sejauhmana kesiapan teman-teman untuk menerbitkan dan memasarkan buku sendiri? Kebanyakan bukunya tidak terjual optimal, karena hanya dipasarkan melalui online, dan penulisnya juga tidak giat memasarkannya. Berdasarkan diskusi dengan teman-teman, kebanyakan penulis pemula “terpaksa” menggunakan jasa self publishing karena “takut” menawarkan naskahnya ke penerbit mayor. Takut ditolak, tentu saja. Selain itu, juga tidak tahu bagaimana menghubungi penerbit mayor. Bahkan, ada yang tidak tahu penerbit mayor apa saja yang bisa dihubungi. Padahal, di blog saya ini banyak daftar penerbit yang bisa dipilih, lho.

Sebagai penulis yang sudah sering menawarkan naskah ke penerbit dan sering mendapatkan imel penolakan, sampai hari ini saya juga masih gemetar bila mendapatkan imel jawaban dari penerbit; apakah naskah diterima atau ditolak. Ternyata, meskipun saya sudah kenal editornya dan beberapa buku juga sudah diterbitkan oleh penerbit yang bersangkutan, belum tentu naskah saya yang berikutnya bisa mudah lolos seleksi. Tetap saja masih diseleksi sesuai selera penerbit.

Dan… meskipun saya belum pernah mengirimkan naskah ke penerbit yang bersangkutan, contohnya penerbit B, bila naskah saya itu memenuhi selera penerbit, ya pasti diterima. Jadi, intinya, bukan nama dan pengalaman penulis yang menentukan diterima atau tidaknya sebuah naskah, melainkan selera penerbit terhadap naskah itu. Memang ada sih penulis yang naskahnya mudah diterima penerbit, karena nama dan pengalamannya, tetapi saya belum mencapai level itu.

Dulu, saya pernah dimintai tolong oleh seorang penulis pemula untuk memasukkan naskahnya ke penerbit mayor. Dengan catatan, meskipun itu buku antologi yang dia susun, nama yang di kover boleh dicantumkan nama saya. Dia yakin bahwa dengan pengalaman saya menerbitkan buku di penerbit mayor, saya pasti bisa meloloskan naskah itu. Wah, padahal, saya juga masih taraf penulis yang harus berjuang menawarkan naskah. Ada kalanya naskah ditolak, ada kalanya diterima. Maka, saya menolak tawarannya itu. Saya yakin dia juga pasti bisa memperjuangkan naskahnya di penerbit mayor.



Setiap penulis memulai dari nol. Saya juga demikian. Saya pernah menjadi pemula, yang tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bagaimana cara mengirim naskah ke penerbit dan dikirimkan ke mana. Saya mencaritahu melalui web penerbit yang bersangkutan. Saya kumpulkan daftar-daftarnya dan pelajari tata cara pengirimannya, dan bismillah… semuanya hasil coba-coba. Namanya coba-coba, ada yang gagal, ada yang berhasil. Kalau gagal, saya kirimkan ke penerbit lain.

Setiap usaha, tidak akan berhasil, kalau takut mencoba. Berusaha itu ada dua kemungkinan; berhasil dan gagal. Kalau tidak berusaha, kemungkinannya hanya satu; gagal. Macam-macam reaksi penerbit saat menerima naskah. Ada yang memberikan konfirmasi dalam sehari, sebulan, ada juga yang tidak memberikan konfirmasi apa-apa. Kalau penerbit tidak memberikan konfirmasi sampai sebulan, ya kirimkan saya ke penerbit lain, tidak usah tunggu jawaban dari penerbit yang sebelumnya. Kalau tiba-tiba penerbit itu memberikan jawaban diterima, sementara naskah kita sudah diterima di penerbit lain, bilang saja sejujurnya, karena kita sudah memberikan waktu konfirmasi selama sebulan.

So, tidak usah takut mengirimkan naskah ke penerbit, karena redaksi penerbit juga manusia. Sama-sama makan nasi. Kalau ditolak, kirimkan saja ke penerbit lainnya. Di blog ini ada banyak daftar penerbit yang saya bagikan untuk teman-teman. Sebenarnya kalau kita mau googling, informasi seperti itu mudah ditemukan. Selamat berjuang, teman-teman… saya juga masih berjuang, kok….

Tiga dari bukuku yang berhasil diterbitkan oleh penerbit mayor, semuanya hasil coba-coba kirim; A Sweet Candy for Teens, Gado-Gado Poligami, dan Catatan Hati Ibu Bahagia.

Sumber: http://leylahana.blogspot.com/2012/05/motivasi-menulis-mengapa-takut.html
Oleh Leyla Hana

0 komentar:

Posting Komentar